Tuesday, 3 October 2017

Menjaga Fitrah / Potensi Baik Anak

Masih ingatkah kita bahwa anak yang baru mulai belajar makan akan segera menutup mulut jika lambungnya sudah terisi dalam ukuran cukup sesuai ukurannya yang mungil. Karena alarm tubuhnya mengatakan "Cukup. Ini sudah cukup untukku ". Tetapi orang tuanyalah yang sibuk memaksa menghabiskan terus dan terus hanya demi anak terlihat lucu atau sekedar memuaskan komentar orang lain, bukan kreatif mengenalkan gizi seimbang

Fitrahnya untuk hidup sehat, makan untuk hidup bukan hidup untuk makan dan mensyukuri rasa cukup dirusak.

Masih ingatkah kita bahwa bayi suka sekali bangun menjelang subuh? Karena memang manusia didesain untuk memulai hari menghaturkan bakti kepada Illahi dan memulai aktifitas produktif. Tetapi apa yang dilakukan orang tua? Sibuk menidurkannya lagi karena merasa kegiatan paginya terganggu atau marah-marah karena tidurnya terganggu. Lalu kemudian mengeluh "Kenapaa sih kamu susah bangun pagi"

Masih ingatkah kita bahwa bayi kita akan menangis saat bajunya basah, risih saat popoknya penuh, dan tidak suka dengan diaper saat mulai bisa berjalan? Tetapi orang tua malas melatih toilet training (tentang toilet training bisa dibaca di website saya) hingga kemudian terbiasa tidak risih dan membiarkan sesuatu yang berantakan dan kotor.

Masih ingatkah kita bahwa batita kita dulu suka memanjat dan berlarian kesana kemari? Inilah pola hidup sehat, aktif dinamis dan baik untuk kesehatan jantung. Tapi orang tua menyuruhnya duduk diam bahkan diberi gadget hingga kecanduan.

Masih ingatkah kita saat anak kita jatuh bangun belajar berjalan dan mengulang kata-kata yang sama, permainan yang sama hingga mahir? Lalu siapakah yang mengatakan "Aah bosan ah pertanyaanmu itu-itu saja. Awas lho jatuh, nah kan ayah/ibu bilang juga apaa.. kamu tu ngga bisa!" Lalu kini ada anak yang malas belajar dan cepat putus asa?

Masih ingatkah dulu anak kita suka ikut ketika kita beribadah? Mengikuti gerakan kita? Segera menggeret peralatan ibadah kita saat datang panggilan adzan? Lalu siapakah yang menghardiknya di usia 5 tahun saat lari di rakaat pertama, mengatainya lemot saat harus mengulang-ulang ayat yang dihapalkannya, mengancam neraka tanpa menumbuhkan cinta, dan tak memahamkan apa yang diucapkannya? Lalu kini ada remaja yang susaah sekali diminta beribadah karena tiada rasa cinta kepadaNya.

Masih ingatkah dulu anak kita sangat teguh kemauannya, ngotot ketika menginginkan sesuatu karena tahu apa yang diinginkannya? Lalu siapakah yang kemudian mencacinya tidak sopan, ngeyelan, membentaknya agar diam, menghukumnya di pojokan? Lalu kini ada anak remaja yang sudah hampir selesai SMA tidak tahu ingin kuliah dimana, tidak tahu mau jadi apa, bahkan tidak tahu subjek apa yang disukainya?

Masih ingatkah ketika pertama kali anak memecahkan barang? Dengan jujur akan bercerita sambil berusaha membenahi. Namun amarah yang membahana menjadikan mereka berpikir, ternyata jujur itu berbahaya dan tanggungjawab tak dihargai. Hingga kemudian mereka memilih berbohong dan menyalahkan keadaan atau orang lain karena lebih menyelamatkan hati.

Masih ingatkah ketika dulu kita lelah atau sedih, tangan kecilnya menghampiri, memberi elusan cinta dan kasih sayang? Lalu siapakah yang melabel tangisnya dengan kata cengeng dan mengecilkan kesedihannya. Hingga kemudian ia tumbuh menjadi sosok yang tidak peduli kesulitan orang lain dan apatis.

Anak-anak terlahir dengan modal potensi baik, tugas orang tua menjadi teladan agar potensi mewujud menjadi perilaku yang diperintahkan, menjaga agar yang sudah baik ini menjadi tetap baik bahkan lebih baik.

Namun sebagian orang tua justru merusaknya.

Tiada kata terlambat untuk memperbaiki diri, karena kelak kita akan ditanya.

Sudahkah kau genapkan ikhtiarmu wahai insan yang diamanahi?

Sumber: Okina Fitriani
              Enlightening Parenting

No comments:

Post a Comment

Mengajari Sisulung Menyayangi Adik Bayi

Kehadiran adik bayi pastinya bisa menambah keceriaan di keluarga. Namun, sepertinya hal itu belum tentu berlaku bagi si kakaknya. Si Kak...