Mungkin banyak teman Apoteker yang pernah mengalami hal sama seperti saya alami.
"Mbak, beli antibiotik dong. Ini muka saya lagi jerawatan". Padahal
wajah Mas yang mau beli antibiotik cuma dihinggapi tiga biji jerawat.
Atau,
"Mbak, beli antibiotik. Buat ayam saya, lagi sakit soalnya". Kadang
tidak cuma ayam yang diberi antibiotik, bisa jadi burung, ikan, atau
kucing.
Emang hewan ga boleh diberi antibiotik yaa? Boleh kok,
tapi hewan-hewan tersebut harus ditangani dulu oleh dokter hewan.
Dipastikan apakah butuh antibiotik atau tidak. Kalau membutuhkan
antibiotik, maka ada takaran yang jelas.
Pernah pula suatu
ketika, datang seorang ibu paruh baya untuk membeli antibiotik tanpa
membawa resep dan langsung kami menolaknya, si Ibu langsung nyolot.
"Iya, saya tahu beli antibiotik harus pakai resep. Tapi kan cuma di
Yogya. Harusnya saya bawa aja antibiotik dari saudara saya di Surabaya
yang kerja di Puskesmas sana. Katanya Yogya itu terlalu idealis, beli
antibiotik aja harus pakai resep".
Saya akui, saat ini baru
Yogyakarta yang ketat menjalankan peraturan untuk tidak melayani
antibiotik tanpa menggunakan resep. Hal paling konyol yang saya dengar
adalah saudara si Ibu yang kerja di Puskesmas mau memberikan sangu
antibiotik? Dipikir antibiotik kacang goreng kali yaa, bisa dikonsumsi
kapan saja. Jangan-jangan saudara si Ibu kerja di Puskesmas bukan
sebagai tenaga kesehatan tapi Cleaning Service kali yaa? Sumpah, saya
kesal banget waktu si Ibu nyolot.
Jika suatu saat kalian
jalan-jalan di Yogya, kemudian mengalami batuk pilek demam atau sakit
gigi, dan terbiasa menggunakan antibiotik, kemudian hendak membeli
antibiotik tanpa resep dokter, jangan harap kalian bisa mendapatkannya.
Sebab semua apotek dari utara sampai selatan, dari barat hingga timur
Yogyakarta telah bersepakat untuk tidak menjual antibiotik tanpa resep
dokter. Harapan saya semoga kota-kota lain bisa mengikuti langkah yang
sudah diambil oleh Ikatan Apoteker Indonesia Yogyakarta.
Sepenting itukah antibiotik sehingga pembeliannya harus dibatasi?
Jadi begini.
Antibiotik itu adalah obat yang digunakan untuk membunuh bakteri yang
dapat menyebabkan penyakit. Emang ada bakteri yang tidak menyebabkan
sakit? Ada. Kebanyakan orang mengenalnya bakteri baik, tapi saya lebih
suka menyebutnya 'friendly bacteria'. Maka, selain tersedia sediaan
antibiotik, juga ada namanya sediaan probiotik.
Penggunaan
antibiotik ini sebenarnya ada batasannya, ada aturan dalam pemberiannya
kepada pasien agar antibiotik tidak disalahgunakan. Bukan cuma narkoba
saja lho disalahgunakan, antibiotik juga bisa. Seperti kisah diawal,
antibiotik diberikan kepada hewan dengan dosis semau pemiliknya,
dosisnya disamakan dengan manusia.
Apa yang terjadi jika antibiotik disalahgunakan penggunaannya atau tidak tepat dalam pemberiannya?
KEBAL. Bakteri akan menjadi kebal pada antibiotik tersebut. Akibatnya
antibiotik tidak bisa menyembuhkan penyakit infeksi tersebut, sudah
tidak efektif lagi. Nah, kebalnya bakteri pada serangan antibiotik
inilah yang disebut RESISTENSI ANTIBIOTIK.
Seberapa mengkhawatirkannya resistensi antibiotik?
Resistensi antibiotik dapat menyebabkan bertambah lamanya waktu
pengobatan suatu penyakit. Dengan lamanya waktu pengobatan, tentu akan
menambah biaya untuk pengobatan. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika
penyakit infeksi menjadi parah. Keparahan penyakit ini bisa pula
menyebabkan kematian.
Berhubung data resistensi antibiotik di
Indonesia belum ada (atau saya yang kurang gigih nyari gosip dari Mbak
Gugel), saya menggunakan data dari CDC US (semacam Pusat Layanan
Kesehatan Masyarakat Nasional di US). Bahwa jumlah kasus yang mengalami
keparahan penyakit karena resistensi antibiotik diperkirakan 2.049.442
setiap tahunnya, dan menyebabkan kematian sebanyak 23.000 kasus setiap
tahunnya.
Lumayan banyak yaa?
Kalau menurut info dari
WHO per September 2016, pasien yang mengalami penyakit infeksi dan
resisten terhadap antibiotik Methicilline (istilah kerennya MRSA:
Methicilline Resistance Staphlylococcus aureus) mempunyai peluang 64%
kemungkinan mengalami kematian dibandingkan pasien yang tidak mengalami
resistensi.
Uwow. Jadi gimana caranya biar kita ga termasuk diantara 2 juta kasus ataupun pasien yang memiliki peluang 64% untuk mati?
Caranya mudah, taat dan patuh pada apa yang disampaikan oleh dokter dan apoteker yaa. Hehe.
Kita mulai dengan;
1. Tidak menggunakan antibiotik untuk penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh virus. Semisal nih batuk, pilek, demam, dan sakit tenggorokan.
Kalau batuk, pilek, demam baru tiga hari atau bahkan baru hari pertama,
jangan langsung dihajar sama antibiotik. Kemungkinan itu disebabkan
oleh virus, bukan bakteri. Sistem imun kita akan bergerilya untuk
melawan virus tersebut. Sehingga batuk, pilek, demam, dan sakit
tenggorokannya bisa sembuh bahkan tanpa obat. Syaratnya, sistem imun
kita pada kondisi excellent.
Akan berbeda kalau kondisi batuk
sudah seminggu atau dua minggu ga hilang-hilang, atau demamnya sudah
lebih dari tiga hari. Atau kalau sakit tenggorokannya sudah pada tahap
ada peradangan. Kalau kondisi begini langsung ke dokter, karena itu
merupakan alarm bahwa ada masalah pada tubuh kita.
2.
Penggunaan antibiotik harus dihabiskan, jangan berhenti ketika sudah
merasa agak baikan. Benar-benar harus dihabiskan walaupun sudah sembuh
dari sakit.
Pasti pernah ada yang mengalami kejadian gini,
"Udahan ah minum obatnya, udah enakan gini badannya".
Kejadian tersebut akan menjadi masalah kalau obat dihentikan tanpa
dihabiskan adalah antibiotik. Kenapa? Kemungkinan ada bakteri yang belum
mati saat antibiotik dihentikan ditengah pengobatan, akhirnya bakteri
itu dapat terbebas dari serangan antibiotik.
Perlu diketahui,
bakteri itu makhluk yang diciptakan dengan kecerdasan lho. Ibarat dalam
peperangan, ketika ada kesempatan melarikan diri maka bakteri akan
menyusun kekuatan untuk menyerang kembali, lain waktu. Caranya dengan
mengubah susunan DNA-nya, terjadi mutasi DNA dan kemudian menggandakan
diri dalam jumlah yang banyak. Kok begitu? Jika menggunakan kekuatan
seperti sediakala, kemungkinan besar dia akan kalah tarung sebab
antibiotik sudah tahu kelemahannya. Semakin sering bakteri mendapat
tekanan serangan dari antibiotik, maka akan semakin sering bakteri
melakukan mutasi DNA.
Mungkin ilustrasinya gini yaa,
Bakteri A diserang antibiotik B, tapi tidak semua antibiotik B ikut
menyerang bakteri A. Masih ada yang tersisa, masih ada yang leyeh-leyeh.
Bakteri dapat melarikan diri, merehabilitasi dirinya dengan mutasi DNA.
Kemudian membuat kegaduhan lagi. Diserang pakai antibiotik B, kalah
antibiotiknya. Ganti strategi pakai antibiotik C, tapi masih ada
antibiotik C yang tersisa dan leyeh-leyeh. Bakteri dapat melarikan diri,
dan memutasi DNA-nya lagi. Terus menerus seperti itu jika antibiotik
tidak dihabiskan konsumsinya. Akhirnya terjadilah resistensi antibiotik.
Kalau dalam film action, mungkin bakteri udah pakai ikat kepala lalu
menunjuk ke antibiotik sambil bilang," Aku tidak akan menyerah. Aku yang
berakhir atau kamu yang berakhir!". Pokoknya sampai titik darah
penghabisan deh.
3. Tidak menggunakan antibiotik yang diberikan
orang lain, sebab bisa jadi infeksi orang tersebut berbeda dengan
infeksi yang sedang kita alami.
Pernahkah mengalami kejadian gini,
"Lagi sakit gigi, Jeng? Ini pakai aja obat dari dokterku. Antibiotik manjur".
Apa kesalahannya? Berbagi antibiotik. Berarti antibiotiknya tidak dihabiskan, karena sisanya diberikan kepada temannya.
Jangan pernah melakukan hal demikian. Sebab bakteri yang menginfeksi
diri anda akan berbeda dengan orang lain. Belum lagi kondisi fisik entah
itu usia, fungsi keseluruhan organ tubuh anda, mungkin ada penyakit
lain yang diderita. Hal itu bisa menjadi pertimbangan pengobatan.
Serahkan pada ahlinya.
4. Tanyakan pada dokter atau apoteker,
bagaimana cara mengkonsumsi antibiotiknya. Apakah harus bersama dengan
makanan? Atau dikonsumsi saat perut kosong semisal sebelum makan? Atau
dikonsumsi satu jam atau dua jam setelah makan? Kenapa ada antibiotik
yang harus diminum dengan susu? Kenapa ga boleh dimakan pakai pisang
bagi yang susah menelan? Bagaimana penyimpanannya, apakah pada suhu
kamar atau pada kondisi dingin?
Informasi yang begini jangan
dianggap remeh yaa. Tanyakan sebanyak-banyaknya kepada Apoteker yang ada
di RS, Klinik, Puskesmas, atau Apotek. Mumpung konsultasi dengan
Apoteker masih gratis tis tis. Permasalahan resistensi antibiotik
ini telah menjadi permasalahan global, bukan hanya di Indonesia. Jika
saat ini kita mengabaikannya, betapa semakin jauhnya kita tertinggal
dari negara-negara yang serius menangani masalah ini. Tidak usah
berharap banyak dari pemerintah, lakukan yang kita bisa.
Semakin
kita mengabaikannya, semakin kita tertinggal dari yang lainnya, maka
yakinlah negara kita akan menjadi ndeso sebenar-benarnya.
Sumber :
Irajelita Jelita