Friday 13 October 2017

Perlukah bayi Tidur Memakai Bantal ?

Banyak orang tua bingung apakah bayinya harus tidur memakai bantal atau tidak. Baca lebih lanjut di sini.

Dalam rangka menyambut bayi yang baru lahir, biasanya orang tua telah menyiapkan segala hal untuk sang buah hati. Termasuk seperangkat perlengkapan tidur yang terdiri dari bantal, selimut, hingga kasur. Tapi, apakah semua itu benar-benar dibutuhkan oleh Si Kecil? 

Nyatanya, bayi baru lahir tidak membutuhkan bantal untuk tidur. Membiarkannya tidur menggunakan bantal sebagai penopang kepala malah dapat mengganggu pernapasan. Terlebih jika Anda membiarkan bayi hanya berdua dengan bantal selama ia tidur.

Menggunakan bantal saat Si Kecil berusia di bawah 1 tahun dapat meningkatkan risiko sudden infant death syndrome atau kematian mendadak pada bayi. National Institute of Child Health and Human Development (NICHHD) merekomendasikan bayi di bawah usia 1 tahun untuk tidur tanpa bantal.

Banyak anggapan yang meyakini bahwa menggunakan bantal sebagai alas kepala Si Kecil selama tidur, dapat membantu pembentukan kepalanya. Namun, hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Menggunakan bantal, apalagi bantal yang terlalu besar, malah bisa menjadi bencana.

Saat Si Kecil tidur, dengan bantal yang berukuran lebih besar dari dirinya, bantal mungkin akan menutupi wajahnya. Akibatnya sistem pernapasan bisa terganggu dan dapat berakibat fatal. Jika wajah Si Kecil terlalu lama tertutup bantal, ia bisa mengalami kesulitan bernapas, yang berujung pada kematian.

Sama berbahayanya dengan bantal, memberikan selimut juga tidak dianjurkan pada bayi yang baru lahir. Sebab tak menutup kemungkinan Si Kecil akan tercekik kain selimut selama ia tidur.

Kapan bayi boleh tidur menggunakan bantal? 

Pada dasarnya tidak ada aturan khusus kapan usia terbaik Si Kecil boleh mulai menggunakan bantal. Sekalipun bantal adalah hal yang penting bagi orang dewasa, untuk memberi rasa nyaman selama tidur, namun tak demikian bagi Si Kecil.

Penggunaan bantal sebaiknya diterapkan pada Si Kecil ketika usianya telah melewati 2 tahun. Pada saat itu, ia telah memiliki tingkat kesadaran dan kekuatan yang lebih tinggi. Sehingga akan mampu menyelamatkan dirinya saat tertindih bantal atau bahkan terlilit selimut.

Selain usia, faktor lain yang harus diperhatikan orang tua adalah memilih jenis bantal yang tepat. Terlebih saat ini semakin banyak perusahaan yang memproduksi bantal bayi dengan bentuk dan warna-warni yang imut. Pilih bantal dengan ukuran kecil dan bentuk yang rata. Sesuaikan bentuk bantal dengan kepala bayi.

Nah, bagi para orang tua, jangan lagi tergoda dengan iklan-iklan bantal dan perlengkapan bayi yang semakin beragam. Sebab belum tentu semuanya aman dan dibutuhkan. Sebagai gantinya, sering-seringlah mendekap Si Kecil untuk memberinya rasa hangat dan nyaman selama tidur.

Sumber :


Mengenali Gejala Cacar Air Dan Pengobatannya


Cacar air adalah salah satu penyakit yang sering dialami di masa anak-anak. Konon, tiap orang pasti akan mengalami cacar air setidaknya satu kali dalam seumur hidup dan biasanya terjadi di masa kanak-kanak. 

Oleh sebab itu, banyak Bunda yang mengira setiap bintik merah muncul di badan berarti pertanda si Kecil terkena cacar air. Namun benarkah demikian? Lalu bagaimana gejala cacar air dan cara mengatasinya?

Cacar air atau varicella disebabkan oleh virus Varicella zoster. Virus tersebut merupakan bagian dari keluarga virus herpes. Infeksi cacar air banyak terjadi di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia.
Penularannya melalui kontak langsung dengan penderita atau melalui udara saat penderita bersin atau batuk. Bila yang terinfeksi adalah ibu hamil, virus ini dapat menular ke bayinya melalui aliran plasenta.
  • Bintik Merah
Gejala awal cacar air menyerupai gejala flu, seperti demam ringan, pilek, merasa lemah, lesu dan mudah lelah, sakit kepala, serta nyeri sendi. Bintik merah biasanya muncul 24–48 jam setelah gejala tersebut.

Umumnya, munculnya bintik diawali di sekitar dada dan perut atau punggung, kemudian merambat ke seluruh tubuh termasuk wajah. Awalnya bintik tersebut terlihat datar dan kemerahan.

Setelah itu bintik akan menonjol dan membentuk lepuhan berisi air (vesikel) yang terasa gatal hingga akhirnya akan mengering. Selain di kulit, ruam juga dapat muncul di bagian dalam mulut yang menyebabkan anak sulit menelan.

Sebagaimana infeksi virus pada umumnya, cacar air dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease). Biasanya gejala pada anak lebih ringan dibandingkan orang dewasa. Hal yang perlu Bunda perhatikan adalah jangan memecahkan bintik merah berair tersebut.

Pada dasarnya bintik merah tersebut dapat pecah dengan sendirinya dan mengering. Bekas kehitaman yang ditinggalkan pun lama kelamaan akan memudar. Lain halnya bila Bunda memecahkannya, dapat terjadi infeksi bakteri di daerah tersebut.

Selain itu, berikan si Kecil penurun demam, kompres kulit si Kecil dengan air dingin untuk mengurangi gatal, pakaikan pakaian bersih dan kering, cukup istirahat, dan minum air putih.
  •  Cegah dengan Imunisasi
Sekalipun dapat sembuh dengan sempurna, Bunda tetap perlu waspada terhadap komplikasi yang bisa muncul dari penyakit ini. Komplikasi tersebut antara lain radang paru-paru (pneumonia), infeksi karena bakteri, hingga infeksi pada otak.

Bila si Kecil tampak lemah, nafsu makan menurun, sesak napas dan kejang, maka ada kemungkinan si Kecil mengalami komplikasi dari cacar air. Segera bawa si Kecil ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

Lantas adakah cara untuk mencegah infeksi cacar air?  Imunisasi adalah jawabannya. Imunisasi varisela dapat dilakukan sebanyak 1 kali untuk anak usia ≥1 tahun. Selain itu, jaga selalu daya tahan tubuh dan bila disekitar tempat tinggal atau sekolah si Kecil ada yang mengalami cacar air, gunakan masker untuk mencegah penularan.

Tak semua bintik merah bisa diperkirakan sebagai gejala cacar air. Kenali tanda-tandanya untuk mendapatkan penanganan segera. Sementara itu, tetap jaga daya tahan tubuh si Kecil dengan memastikan asupan gizinya terus terpenuhi, aktif bergerak, serta cukup istirahat.


Tuesday 3 October 2017

Menjaga Fitrah / Potensi Baik Anak

Masih ingatkah kita bahwa anak yang baru mulai belajar makan akan segera menutup mulut jika lambungnya sudah terisi dalam ukuran cukup sesuai ukurannya yang mungil. Karena alarm tubuhnya mengatakan "Cukup. Ini sudah cukup untukku ". Tetapi orang tuanyalah yang sibuk memaksa menghabiskan terus dan terus hanya demi anak terlihat lucu atau sekedar memuaskan komentar orang lain, bukan kreatif mengenalkan gizi seimbang

Fitrahnya untuk hidup sehat, makan untuk hidup bukan hidup untuk makan dan mensyukuri rasa cukup dirusak.

Masih ingatkah kita bahwa bayi suka sekali bangun menjelang subuh? Karena memang manusia didesain untuk memulai hari menghaturkan bakti kepada Illahi dan memulai aktifitas produktif. Tetapi apa yang dilakukan orang tua? Sibuk menidurkannya lagi karena merasa kegiatan paginya terganggu atau marah-marah karena tidurnya terganggu. Lalu kemudian mengeluh "Kenapaa sih kamu susah bangun pagi"

Masih ingatkah kita bahwa bayi kita akan menangis saat bajunya basah, risih saat popoknya penuh, dan tidak suka dengan diaper saat mulai bisa berjalan? Tetapi orang tua malas melatih toilet training (tentang toilet training bisa dibaca di website saya) hingga kemudian terbiasa tidak risih dan membiarkan sesuatu yang berantakan dan kotor.

Masih ingatkah kita bahwa batita kita dulu suka memanjat dan berlarian kesana kemari? Inilah pola hidup sehat, aktif dinamis dan baik untuk kesehatan jantung. Tapi orang tua menyuruhnya duduk diam bahkan diberi gadget hingga kecanduan.

Masih ingatkah kita saat anak kita jatuh bangun belajar berjalan dan mengulang kata-kata yang sama, permainan yang sama hingga mahir? Lalu siapakah yang mengatakan "Aah bosan ah pertanyaanmu itu-itu saja. Awas lho jatuh, nah kan ayah/ibu bilang juga apaa.. kamu tu ngga bisa!" Lalu kini ada anak yang malas belajar dan cepat putus asa?

Masih ingatkah dulu anak kita suka ikut ketika kita beribadah? Mengikuti gerakan kita? Segera menggeret peralatan ibadah kita saat datang panggilan adzan? Lalu siapakah yang menghardiknya di usia 5 tahun saat lari di rakaat pertama, mengatainya lemot saat harus mengulang-ulang ayat yang dihapalkannya, mengancam neraka tanpa menumbuhkan cinta, dan tak memahamkan apa yang diucapkannya? Lalu kini ada remaja yang susaah sekali diminta beribadah karena tiada rasa cinta kepadaNya.

Masih ingatkah dulu anak kita sangat teguh kemauannya, ngotot ketika menginginkan sesuatu karena tahu apa yang diinginkannya? Lalu siapakah yang kemudian mencacinya tidak sopan, ngeyelan, membentaknya agar diam, menghukumnya di pojokan? Lalu kini ada anak remaja yang sudah hampir selesai SMA tidak tahu ingin kuliah dimana, tidak tahu mau jadi apa, bahkan tidak tahu subjek apa yang disukainya?

Masih ingatkah ketika pertama kali anak memecahkan barang? Dengan jujur akan bercerita sambil berusaha membenahi. Namun amarah yang membahana menjadikan mereka berpikir, ternyata jujur itu berbahaya dan tanggungjawab tak dihargai. Hingga kemudian mereka memilih berbohong dan menyalahkan keadaan atau orang lain karena lebih menyelamatkan hati.

Masih ingatkah ketika dulu kita lelah atau sedih, tangan kecilnya menghampiri, memberi elusan cinta dan kasih sayang? Lalu siapakah yang melabel tangisnya dengan kata cengeng dan mengecilkan kesedihannya. Hingga kemudian ia tumbuh menjadi sosok yang tidak peduli kesulitan orang lain dan apatis.

Anak-anak terlahir dengan modal potensi baik, tugas orang tua menjadi teladan agar potensi mewujud menjadi perilaku yang diperintahkan, menjaga agar yang sudah baik ini menjadi tetap baik bahkan lebih baik.

Namun sebagian orang tua justru merusaknya.

Tiada kata terlambat untuk memperbaiki diri, karena kelak kita akan ditanya.

Sudahkah kau genapkan ikhtiarmu wahai insan yang diamanahi?

Sumber: Okina Fitriani
              Enlightening Parenting

Anaku Pilih-Pilih Makanan Mesti Bagaimana ?


Salah satu hal yang sering dikeluhkan orangtua terkait dengan kebiasaan makan anaknya adalah pilih-pilih makanan. Biasanya, hal ini paling sering terjadi pada anak berusia 1-3 tahun.

Sebenarnya kenapa sih anak suka pilih-pilih makanan? Normal atau tidak? Dan bagaimana tips mengatasinya?

Kebiasaan pilih-pilih makanan termasuk ke dalam istilah food preference. Selain pilih-pilih makanan, penolakan terhadap makanan tertentu juga tercakup pada istilah ini. Food preference memang memiliki spektrum yang luas, mulai dari picky eater sampai selective eater. Apa bedanya?

Salah satu food preference yang normal terjadi pada fase perkembangan anak adalah neofobia atau penolakan terhadap makanan baru. Sebenarnya, neofobia ini merupakan mekanisme evolusi pertahanan anak yang menguntungkan karena membantu anak menghindari makan bahan beracun saat anak sudah mampu memilih makanannya sendiri tanpa pengawasan orangtua. Namun neofobia dapat berlanjut menjadi penolakan berkepanjangan dan terus menerus terhadap makanan tertentu sehingga menimbulkan masalah makan berupa food preference.

Picky eater berarti anak mau mengonsumsi berbagai jenis makanan baik yang sudah maupun yang belum dikenalnya tapi menolak mengonsumsi dalam jumlah yang cukup. Selain jumlah yang tidak cukup, picky eater pun berhubungan dengan rasa dan tekstur makanan. 

Walaupun pilih-pilih makanan, picky eater masih mau mengonsumsi minimal satu macam makanan dari setiap kelompok karbohidrat, protein, sayur/buah dan susu. Misalnya, walaupun anak menolak makan nasi, tapi ia masih mau makan roti atau mie.

Sementara selective eater adalah anak yang menolak segala jenis makanan dalam kelompok makanan tertentu. Misalnya sama sekali enggan mengonsumsi karbohidrat, baik itu nasi, roti atau mie.

Kalau picky eater masih merupakan fase normal dalam perkembangan seorang anak, lain halnya dengan selective eater yang mengakibatkan anak berisiko mengalami defisiensi makro atau mikronutrien tertentu.

Apa saja yang mempengaruhi terjadinya food preference ini? Selain paparan makanan pada usia dini, tipe kepribadian anak, pengaruh lingkungan, tekanan dalam proses makan juga sangat berpengaruh lho! 

Maka dari itu, saat menghadapi anak yang sulit makan atau sering pilih-pilih makanan, jangan tambah memaksa atau marah-marah ya!

Bagaimana menghadapi anak yang suka pilih-pilih makanan?

  1. Children see, children do.
    Kebiasaan makan orangtua akan sangat berpengaruh terhadap kebiasaan anak. Jika orangtua enggan makan sayur misalnya, wajar saja jika anak pun meniru enggan makan sayur. Selalu sajikan menu makanan yang berimbang setiap harinya.
  2. Sajikan makanan dalam porsi kecil.
  3. Biasanya, jika anak disuruh memakan sesuatu, mereka akan langsung menolak. Sebaliknya, jika anak yang memegang kendali , mereka cenderung lebih tertarik. Sebaiknya sajikan makanan di meja yang terjangkau.
  4. Jika ingin memberikan makanan baru, jangan langsung menyerah jika anak langsung menolak. Paparkan makanan baru tadi pada anak sebanyak 10-15 kali.
  5. Berikan contoh makan yang menyenangkan. Jika anak melihat orang lain makan makanan serupa, anak akan lebih tertarik mencoba.
  6. Orangtua harus tetap tenang. Jangan panik atau marah-marah saat anak menolak makanan tertentu.

Sumber: Web IDAI

Mengajari Sisulung Menyayangi Adik Bayi

Kehadiran adik bayi pastinya bisa menambah keceriaan di keluarga. Namun, sepertinya hal itu belum tentu berlaku bagi si kakaknya. Si Kak...